Minggu, 21 Mei 2017

kerajaan sambaliung



Kerajaan Sambaliung

Kerajaan Sambaliung (sebelumnya bernama Kerajaan Tanjung) adalah kerajaan hasil dari pemecahan Kerajaan Berau. Ketika Berau dipecah menjadi dua, yaitu Kerajaan Sambaliung dan Gunung Tabur pada sekitar tahun 1810-an. Raja Alam adalah keturunan dari Baddit Dipattung atau yang lebih dikenal dengan Aji Suryanata Kesuma raja Berau pertama.

Pada tahun 1810, Sultan Alimuddin yang lebih dikenal dengan nama Raja Alam, sultan pertama di Tanjung Batu Putih, mendirikan ibukota kerajaannya di Tanjung dan kemudian Tanjung Batu Putih kemudian menjadi kerajaan Sambaliung. Raja Alam adalah cucu dari Sultan Hasanuddin dan cicit dari Pangeran Tua, atau generasi ke-13 dari Aji Surya Nata Kesuma.

Sampai dengan generasi ke-9, yakni Aji Dilayas. Aji Dilayas mempunyai dua anak yang berlainan ibu, yang satu bernama Pangeran Tua dan satunya lagi bernama Pangeran Dipati. Kemudian, kerajaan Berau diperintah secara bergantian antara keturunan Pangeran Tua dan Pangeran Dipati (hal inilah yang membuat terjadinya perbedaan pendapat yang bahkan kadang-kadang menimbulkan insiden).

Prof. Hans Haegerdal dari University of Vaxjo, Swedia. Pernah menuliskan silsilah ketiga kerajaan ini dalam bukunya. Ia menguraikan silsilah kerajaan Berau yang secara turn-temurun mewariskah tahta kekuasaan. Pangeran Tua mewariskan tahta kekuasaan Berau pada keturunannya; Sultan Mahmud Hasanuddin alias Dayang Lama sebagai Raja Ke-7, Sultan Maulana alias Hasanudin sebagai Raja ke-10, dan dari Putra Sultan Amiril Muminin sebagai Raja ke-11 yang berkuasa hingga tahun 1826 inilah kemudian menjadi Raja Pertama Sambiliung yang bernama Raja Alam alias Aji Nanti yang mulai berkuasa sejak 1830-1842.

Sementara dari Pangeran Adipati Saparudin secara turun temurun mewariskan kekuasaan Berau pada; Aji Kuning seabgai Raja ke-6, Sultan Zainal Abidin sebagai Sultan ke-8, Sultan Babruddin sebagai Sultan ke-9, dan kemudian putra dari Sultan Zainal Abidin II sebagai raja ke-12 lah raja pertama Gunung Tabur yang bernama Gazi Muhyuddin Aji Kuning mengawali kekuasaannya pada tahun 1830-1840.

Namun dalam referensi lain mencatatkan bahwa Sultan Gazi Muhyuddin Aji Kuning alias Sultan Aji Kuning II sebagai raja pertama Guning Tabur memulai kekuasaanya pada tahun 1800-1850. Dan Sultan Alimuddin alias Raja Alam sebagai Raja Pertama Sambiliung memulai kekuasaannya pada tahun 1810-1844.

Awal mula terpecahnya wilayah inti kerajaan Berau menjadi dua dikarenakan perebutan kekuasaan antara turunan Pangeran Tua dan turunan Pangeran Dipati. Gazi Mahyudin adik Sultan Zainal Abidin II bersikeras menggantikan kakaknya yang sakit-sakitan itu, alasannya kakaknya baru beberapa tahun menjadi raja.

Raja Alam putera Sultan Amirilmukminin turunan Pangeran Tua, merasa lebih berhak mendapat giliran menjadi raja, alasannya turunan Pangeran Dipati sudah lima kali memperoleh giliran raja, sedang turunan Pangeran Tua baru empat kali. Suasana semakin tegang, yang mengakibatkan terjadinya insiden di beberapa tempat. Untuk menghindari timbulnya persengketaan yang berbahaya bagi kelangsungan hidup kedua keluarga itu,maka diputuskan lebih baik membagi wilayah atas dua kerajaan.

Sebelah utara sungai Berau (Kuran) serta tanah kiri kanan sungai Segah menjadi Wilayah Kerajaan Gunung Tabur diperintah oleh Sultan Gazi Mahyudin (Sultan Aji Kuning II). Dan sebelah selatan Sungai Berau (Kuran) dan tanah kiri kanan sungai Kelay menjadi Wilayah Kerajaan Sambaliung diperintah oleh Raja Alam (Sultan Alimuddin). Kemudian kedudukan pemerintah di Muara Bangun dipindahkan.

Sultan Aji Kuning II memilih Gunung Tabur yang terletak di sebelah kanan muara cabang sungai  Segah sebagai pusat pemerintahannya dan Sultan Alimuddin atau Raja Alam memindahkan pusat pemerintahannya di kampung Gayam sebelah kanan masuk sungai Kelay, disebut Tanjoeng pada tahun 1810, sepuluh tahun sesudah Bulungan dan Tidung memisahkan diri. Seperti pada umumnya, jika dalam satu wilayah terdapat dua kerajaan seringkali tidak pernah akur.

Seperti halnya Kerajaan Gunung Tabur dan Kerajaan Sambaliung yang pada dasarnya masih mempunyai ikatan darah atau satu keturunan. Dan hal ini menjadi celah keterjajahan kedua kerajaan tersebut, ketika pada tahun 1817 Belanda memasuki Sungai Segah dan berlabuh di tengah sungai antara Sungai Segah dan Sungai Kelay.

Pada awalnya hubungan dagang antara Belanda, Gunung Tabur, dan Sambaliung berjalan dengan lancar dan sangat menguntungkan. Beramasa Sambilung berbagai hasil bumi terbaik seperti rotan dan damar dibeli dengan harga yang tinggi. Begitu pula dengan usaha barang barang keramik dari Cina dan eropa yang dibawa Belanda.

Bersama pihak Kerajaan Gunung Tabur, Belanda hanya membeli barang hasil ikutan, itupun dengan harga murah. Alasannya armada mereka terbatas untuk segera membawa barang ke negaranya. Namun selain itu berbagai kebutuhan ekonomi kerajaan Gunung Tabur merupakan tempatnya. Sehingga hubungan Belanda dengan pihak kerajaan Gunung Tabur berjalan cukup baik dan bersahabat. Meski demikian pihak Belanda selalu mencari celah untuk menjalankan politik adudomba di antara kedua kerajaan tersebut yang notabene tidak pernah akur.

Dengan dalih perampokan kapal dagang tersebut dilakukan oleh pihak Raja Alam Sambaliung, pihak Belanda lalu memberikan bantuan pasukan pada Raja Kuning II Gunung Tabur dan menggempur kerajaan Sambaliung. Pihak Kerajaan Sambaliung dengan gagah berani melakukan perlawanan yang dipimpin oleh Sarif Dakula, menantu Raja Alam dibantu oleh orang orang Bugis dan Solok.

Kenapa orang orang Bugis dan Solok membantu Kerajaan Sambaliung dalam perang saudara tersebut. Karena isteri Raja Alam adalah orang asal Sulawesi Selatan keturunan bangsawan Wajo yang tidak menyukai kehadiran Belanda di Tanah Berau. Tetapi walau sudah didukung oleh orang orang Bugis dan Solok, pihak Kerajaan Sambaliung kalah pengalaman dan senjata melawan orang orang Gunung Tabur terlebih karena dibantu Belanda yang bersenjata api.

Raja Alam dan pasukannya akhirnya mundur ke pedalaman. Tetapi dengan liciknya Belanda melakukan penyanderaan pada anak isteri Raja Alam dan melakukan penangkapan kepada keluarga para bangsawan yang telah tua-tua.

Dengan ancaman pembantaian terhadap para keluarga bangsawan Kerajaan Sambaliung, akhirnya Raja Alam dan menantunya Sarif Dakula mau datang ke Kerajaan Sambaliung untuk melakukan perundingan sebagaimana permintaan pihak Belanda. Raja Alam dan Sarif Dakula hanya datang berdua tanpa ada yang mengawal. Sedang pasukannya masih menunggu di hutan hutan rimba sungai Kelay.

Ternyata Raja Alam dan Sarif Dakula, bukannya diajak berunding. Keduanya ditangkap dan dimasukkan kedalam tahanan Belanda dengan penjagaan ketat berlapis-lapis. Waktu itu tahun 1834 dimana Raja Alam dan menantunya Sarif Dakula oleh pengadilan Belanda  diputuskan dibuang ke Makasar.

Sungguh suatu kisah perang saudara tidaklah akan berakhir baik untuk salah satu pihak. Pada akhirnya kedua belah pihak, baik yang menang apalagi yang kalah mendapat kerugian yang besar dan menjadi keuntungan yang sangat besar bagi Kolonial Belanda.

Hingga pada suatu ketika Raja Kuning II melakukan perundingan kembali dengan keluarga baik bangsawan Gunung Tabur maupun sisa-sisa bangsawan Kerajaan Sambaliung yang pada dasarnya masih satu keturunan, diputuskan untuk mengembalikan Raja Alam ke Sambaliung dengan pengajukan permohonan pada pihak Belanda.

Oleh pihak Belanda permohonan tersebut dikabulkan dan pada tanggal 24 September 1837 Raja Alam kembali ke Kerajaan Sambaliung bersama pengiringnya. Pertemuan dua keluarga Gunung Tabur dan Sambaliung ini terjalin kembali. Kemudian atas persetujuan Belanda kedua kerajaan tetap saja berdiri sebagaimana asal mula mereka. Namun tentu saja harus berada dibawah kekuasaan dan peraturan yang diberlakukan oleh pihak Belanda.

Dan kemudian Kerajaan Sambaliung melanjutkan silsilahnya. Di bawah ini silsilah Raja-Raja: Sultan Alimuddin/Raja Alam (1810-1844), Sultan Kaharuddin (1844-1848), Sultan Hadi Jalaluddin (1848-1850), Sultan Asyik Syarifuddin (1850-1863), Sultan Salehuddin (1863-1869), Sultan Adil Jalaluddin (1869-1881), Sultan Chalifatullah Bayanuddin (1881-1902), Sultan Muhammad Aminuddin (1902-1960)

Hingga hari ini keraton Kerajaan Sambaliung yang dibangun sekitar tahun 1881 tidak mengalami perubahan dari masa ke masa, hanya saja sekarang sudah tidak lagi ditinggali oleh para anak dan kerabat dekat Sultan. Dan Sultan  terakhir yang menempati Keraton Sambaliung adalah Sultan ke-8 yaitu Sultan Muhammad Aminuddin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Faktor Administrasi Perkantoran

Faktor Administrasi Perkantoran   2.       Faktor Administrasi 1.        Pengorganisasian Merupakan rangkaian perbuatan menyusun...